KOMPAS.com - Menteri
Ketenagakerjaan perlu memperhatikan ini. Sama-sama menjadi tenaga kerja
di luar negeri, tukang las Indonesia ini dicari dan dihargai. Berbeda
dengan buruh migran perempuan yang banyak menyimpan cerita nestapa, para
tukang las pulang dalam kehormatan dan kantong penuh dollar.
Padanan dalam bahasa Indonesia memang tukang las, tetapi dalam dunia industri mereka lebih dikenal sebagai welder.
Pekerjaannya mengelas berbagai infrastruktur industri, dari turbin
listrik hingga kilang minyak dan pipa tambang. Inilah yang membedakan
mereka dengan buruh migran lainnya. Dengan keahliannya mengelas, para welder punya posisi tawar luar biasa.
"Watak welder itu keras-keras. Kalau perusahaan ingin kami mengerjakan proyeknya, ya, ikuti cara kami. Kalau tidak cocok, silakan cari tim welder lain," kata Supriyadi menceritakan pengalamannya.
Usia 31 tahun, investasinya sudah beragam, termasuk kebun dan rumah.
Selesai mengerjakan proyek di Malaysia, tahun 2011 ia berangkat ke Papua
Niugini.
"Gaji saya 2.200 dollar AS sebulan, belum termasuk lembur," ujar ayah
tiga anak ini. Baru bekerja delapan bulan, ia pulang karena mendapat
tawaran lebih menarik di Makassar, Sulawesi Selatan.
Waktu di Papua Niugini, Supriyadi menjadi welder terbaik. ”Dia itu mengalahkan welder dari Thailand, Filipina, India, dan Kolombia,” ujar Ridwan Nawing (38), rekan satu tim.
Ihwal kualitas, Mujahiddin (37) bercerita, ketika mengerjakan proyek
pembangkit listrik Paiton di Jawa Timur, beberapa tahun lalu, hasil tim welder Indonesia lebih baik daripada tim welder Jerman. Begitu diperiksa dengan sinar X, pekerjaan tim Jerman ditolak karena kurang rapat.
Tiga serangkai itu kini berupaya memajukan Ikatan Welder Bontang
(IWB). Supriyadi menjadi ketua dengan Ridwan sebagai bendahara I dan
Mujahiddin di divisi sumber daya manusia. Awal November lalu, mereka
bersemangat cerita di sebuah warung seafood di Bontang, Kalimantan Timur, berlanjut di Wisma Tamu PT Badak LNG hingga larut malam.
Tuan rumah
IWB berawal dari keprihatinan hanya bisa menjadi penonton setiap
proyek pembangunan di Bontang. "Lokasi industri memang di Bontang,
tetapi para tenaga kerjanya direkrut dari Jawa," ujar Mujahiddin.
Begitu banyaknya tenaga kerja dari luar Bontang membuat tenaga kerja
lokal susah mendapatkan kesempatan kerja. ”Kalaupun diterima, gaji kami
yang lokal lebih rendah dan tanpa fasilitas,” ujar Mujahiddin.
Maka, pada 2003, Ahmad Yatim—kini 54 tahun—merintis pendirian IWB untuk memperbaiki posisi tawar para welder
lokal. IWB juga berupaya meningkatkan keahlian anggota dengan
mengajukan proposal pelatihan ke PT Badak LNG. Inilah yang berkembang
menjadi sertifikasi migas bagi para welder, bekal berharga melanglang buana.
Dalam industri dikenal berbagai sertifikasi untuk welder, di
antaranya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk industri
geotermal, sertifikasi dinas tenaga kerja (disnaker) untuk petrokimia,
dan sertifikasi migas untuk migas. Para welder wajib bersertifikat karena proyek-proyeknya berisiko tinggi.
"Welder itu memberikan garansi seumur hidup. Kalau ada
tangki yang saya las 15 tahun lalu pecah, saya masih harus bertanggung
jawab," papar Mujahiddin, bapak dua anak.
Dengan bantuan PT Badak LNG, para welder yang hendak
mengikuti sertifikasi diseleksi. Yang memenuhi kualifikasi difasilitasi
ujian sertifikasi, yang kurang mendapat pelatihan di bengkel kerja PT
Badak LNG tanpa biaya.
Menurut Staf Khusus Direktur dan COO PT Badak LNG Kuswana, proses
sertifikasi migas perlu pendampingan karena tidak bisa dilakukan
perorangan dan biayanya mahal, Rp 25 juta per orang. "Perlu seleksi dan
pelatihan agar saat ujian tidak ada yang gagal," katanya.
Sertifikat berlaku tiga tahun. Untuk sertifikasi ulang, bantuan hanya
berupa koordinasi. "Mereka, kan, bisa mendapatkan pekerjaan di
mana-mana dan gajinya besar," ujar Kuswana.
Di Jawa Tengah, PT Holcim Indonesia-Plant Cilacap juga membantu para remaja mendapatkan sertifikasi welder
dari disnaker. Bekerja sama dengan balai latihan kerja industri (BLKI),
perusahaan ini membantu biaya dan pelatihan sebelum ujian.
Dengan prioritas kelompok rentan—antara lain anak nelayan—yang
diseleksi dari 19 kelurahan, peminat sertifikasi 3G untuk kelas biasa
ini mengular dalam antrean. PT Holcim juga membantu sertifikasi disnaker
untuk profesional, minimal lulusan sekolah menengah kejuruan, untuk
mendapatkan sertifikat 6G yang biayanya dua kali lipat, Rp 8 juta per
orang.
Sepanjang 2014, sudah 80 orang lulus sertifikasi. Sebagian besar terserap industri hingga ke Jakarta. Welder memang telah menjadi profesi yang menggiurkan.
Berdaya saing
Kini, anggota IWB sudah 200 orang. Dari jumlah itu, 120 orang sudah
memegang sertifikat disnaker dan 80 lainnya bersertifikasi migas. Setiap
kali ada proyek, IWB yang bernegosiasi dengan perusahaan.
Anggota IWB rata-rata pernah bekerja di luar negeri. Ada yang bekerja
di Uni Emirat Arab, Thailand, Rusia, bahkan di Libya. "Saat ini empat
anggota IWB bekerja di Rwanda," ujar Supriyadi.
Para welder umumnya memulai karier dengan menjadi helper atau asisten welder. Di Bontang, gaji awal mereka Rp 2,4 juta sebulan. Meningkat menjadi welder,
gajinya Rp 3,2 juta-Rp 4,7 juta, tergantung dari tingkat keahliannya.
Mujahiddin pernah mendapat gaji Rp 10 juta di perusahaan lokal. ”Kalau
lembur, lebih banyak lagi,” katanya.
Tidak mengherankan apabila Ridwan enggan berangkat ketika ada agen
tenaga kerja menawarkan pekerjaan di Dubai dengan gaji Rp 6 juta. Agen
memang sangat merugikan karena bayaran tak sampai setengahnya
dibandingkan dengan bernegosiasi langsung dan tidak ada lembur.
Padahal, perusahaan asing senang dengan para welder
Indonesia karena cermat, tangguh, dan jarang mengeluh. Mereka juga lebih
suka menabung daripada kumpul-kumpul dan minum-minum. Maka, kehadiran
organisasi menjadi penting untuk meningkatkan posisi tawar, membangun
jaringan, dan meningkatkan kemampuan. Supriyadi dan kawan-kawan sudah
merintisnya.
(Agnes Aristiarini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar