Permasalahan yang terjadi di dalam hidup kita adalah hasil dari
dramatisasi yang kita lakukan sendiri. Kita lebih banyak merasakan
penderitaan sebagai akibat dari buatan kita sendiri, kekhawatiran kita
sendiri, kepanikan kita sendiri.
Ternyata kesemua itulah yang membuat kita menjadi merasa tertekan dan
terbebani. Padahal, jika kita sikapi dengan kepala dingin, pikiran
jernih dan hati yang lapang, kita tidak akan merasa kerepotan menghadapi
segala kenyataan yang terjadi pada hidup kita.
Sebagai contoh misalnya, seseorang yang merasakan sakit pinggang.
Kemudian, dia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Sebelum
berangkat, ia bercerita pada temannya tentang apa yang sedang
dirasakannya itu. Ia sampaikan segala kekhawatiran jika seandainya yang
ia derita adalah penyakit ginjal, maka ia akan menghadapi resiko
pengobatan dan perawatan yang tidak sederhana dan mahal. Bahkan, ia pun
menceritakan kegelisahannya seandainya ternyata ia harus mengalami gagal
ginjal dan menjalani cuci darah, dan seterusnya, dan sebagainya.
Semakin orang ini menceritakan ketakutan dan kekhawatirannya, maka
semakin terbebanilah ia, semakin streslah ia. Beban yang datang
disebabkan ketakutan-ketakutan yang ia hadirkan sendiri dari perkiraan
atau dugaannya sendiri. Padahal ia sama sekali belum menjalani
pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Hal seperti inilah yang banyak
terjadi pada diri manusia, yang kemudian menimbulkan penderitaan jiwa di
dalam diri mereka sendiri.
Maka, kendalikanlah diri sebisa mungkin agar terhindar dari sikap
mendramatisir masalah yang sedang terjadi. Janganlah larut di dalam
jebakan-jebakan sikap yang mempersulit diri sendiri. Karena sikap-sikap
seperti itulah yang akan semakin memperbesar kesulitan dan penderitaan
di dalam diri.
Allah Swt. di dalam Al Quran,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya..” (QS. Al Baqarah [2] : 286).
Maha Suci Allah Swt. dari perbuatan dzalim terhadap hamba-hamba-Nya.
Tidak ada ketetapan-Nya yang di luar batas kesanggupan hamba-hamba-Nya.
Kesemuanya sudah terukur. Tidak ada yang berat dan tidak ada yang tidak
bisa dihadapi. Adapun yang berat adalah karena kita kurang ilmu dan
kurang iman dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita,
sehingga kita keliru dalam menyikapi apa yang Allah Swt. tetapkan kepada
diri kita.
Jadi saudaraku, hidup ini bagaikan siang dan malam. Kita siap
menghadapi siang karena kita tahu persis apa yang akan kita lakukan pada
siang hari. Kita pun tidak panik saat malam menjelang karena kita tahu
apa yang akan kita lakukan di waktu malam. Bahkan, tidak jarang kita
sangat mendambakan malam segera datang karena kita tahu akan ada manfaat
yang akan kita peroleh di waktu malam. Demikian juga, tidak jarang kita
menanti-nanti datangnya waktu siang karena tahu bahwa ada hal
menyenangkan yang akan didapat di waktu siang.
Memang benar, tidak jarang babak kehidupan yang menimpa kita terasa
berat dan getir. Tapi itu sama sekali bukan alasan bagi kita untuk
mendramatisir keadaan kemudian merasa beralasan untuk tenggelam dalam
kesedihan, seolah kemalangan adalah nasibnya.
Ketika ada yang memuji kita, kita harus mawas diri bahwasanya pujian
tersebut tidaklah cocok untuk kita. Kita dipuji sebenarnya bukan karena
kelebihan kita, akan tetapi karena orang yang memuji itu tidak
mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya. Ia tidak mengetahui
kejelekan-kejelekan kita yang tersembunyi. Sehingga apabila kita ketahui
ilmunya, ketika kita mendapatkan pujian, maka kita tidak akan terjebak
untuk mendramatisir diri, membohongi diri karena pujian tersebut dengan
bentuk sikap membangga-banggakan diri karena pujian tersebut. Jika kita
mengetahui ilmunya, maka sikap yang akan kita lakukan adalah
mengembalikan pujian tersebut kepada Sang Pemilik pujian sejati yaitu
Allah Swt., Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji.
Rasulullah Saw. memberikan trik yang sangat baik untuk diteladani supaya kita tidak terjerat dengan jebakan pujian manusia.
Pertama, selalu mawas diri agar tidak
terbuai oleh pujian orang lain. Oleh karena itu, setiap kali ada yang
memuji beliau, Rasulullah Saw menanggapinya dengan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari).
Kedua, menyadari sepenuh hati bahwa hakikat
pujian adalah topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang
lain. Ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya
tentang sisi kejelekan kita. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw dalam
menanggapi pujian, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).” (HR Bukhari).
Ketiga, kalaupun pujian yang dilontarkan
orang lain terhadap diri kita memang benar ada di dalam diri kita,
Rasulullah Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk
dijadikan pribadi yang lebih baik lagi. Apabila mendengar pujian,
Rasulullah Saw kemudian berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR Bukhari).
Demikian juga saat kita mendapat cacian. Jika kita tahu ilmunya, kita
tidak akan panik. Kita justru akan bersikap tenang dan mendengarkan
cacian itu, karena bisa jadi cacian itu adalah informasi untuk kita
tentang diri kita supaya kita mau mengevaluasi dan memperbaiki diri.
Karena, orang paling mulia saja yaitu Nabi Muhammad Saw., mendapat
hinaan dan cacian, apalagi kita yang kemuliaannya sangat jauh di bawah
beliau. Jika kita benar menyikapi hinaan orang lain terhadap kita, maka
hinaan itu justru akan mempertinggi derajat kita.
Demikian juga ketika kita sakit, jika kita mengetahui ilmunya maka
kita akan selalu siap menghadapi keadaan ini. Ketika sakit menimpa kita,
maka kita akan menyadari bahwa orang yang sakit adalah ladang rezeki
bagi para dokter dan perawat. Kita juga akan menyadari bahwa sakit
adalah satu episode di dalam hidup kita yang juga harus kita nikmati.
Bukankah Rasulullah Saw. sendiri yang menjanjikan bahwa kita akan
digugurkan dosa ketika kita sakit, bagaikan daun-daun kering yang
berguguran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Tidaklah seseorang
muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan,
kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan
menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, jangan mempersulit diri, tidak perlu mendramatisir
kenyataan yang terjadi. Hadapi saja, jalani saja hidup ini. Tidak perlu
panik saat melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan. Juga
tidak perlu berbangga diri bisa melihat kenyataan yang sesuai dengan
harapan. Serahkan setiap yang terjadi kepada Allah Swt.. Setiap
kenikmatan yang terjadi di dunia ini hanyalah sedikit dan semu belaka.
Ada kenikmatan yang jauh lebih besar, tiada berbatas, dan sejati di
akhirat kelak.
Sahabat, tidak ada kesengsasaraan yang kekal di dunia ini. Malah,
kesesengsaraan itu sendiri adalah hasil rekaan atau akibat dari sikap
kita sendiri yang keliru menyikapi kehidupan dunia ini. Jika manusia
menemukan suatu ujian di dalam hidupnya, maka sesungguhnya ujian
tersebut datang sudah satu paket dengan kemudahan atau jalan keluarnya.
Allah Swt. berfirman,
فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرً۬ا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94] : 5 - 6).
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber: http://www.smstauhiid.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar